Dian Sastrowardoyo Fan Site

Dian Sastrowardoyo : Soap Februari 2008

Posted in Fashion, Majalah by Haqi Achmad on Juni 15, 2009

Also sprach Dian Sastrowardoyo
Well, it’s her. And her words!

Penulis ; Hermawan Kurnianto
Busana ; koleksi seluruhnya oleh Louis Vuitton
Fotografer : Raditya Arya Pratama
Pengarah gaya ; Thornandes James R
Make-up Artist & hair do ; Norma Moii
Asst. Stylist ; Hakim Satriyo
Asst. Foto ; Bona Soetirto
Lokasi ; Luxury Suite Four Season Hotel, Jakarta

Siang itu, saya duduk di dalam mobil Mercedes-Benz berwarna hitam. Di sebelah saya adalah pak sopir. Dan di belakang saya duduk seorang wanita bernama Dian. Nama lengkapnya Diandra Paramitha Sastrowardoyo. Rasanya tidak perlu lagi menjelaskan siapa wanita ini dan bagaimana parasnya, kecuali kalau Anda selama hampir satu dekade ini meninggalkan Indonesia dan sama sekali tidak mengikuti perkembangan berita selebritis di negeri ini. Well, in that case, just take a look at these pictures.

Dari audio system yang ada di mobilnya, mengalun lagu Pada Awalnya dari debut album berjudul sama milik band lokal asal Surabaya, Vox. “Lo suka Vox?” tanya saya yang merasa lega karena akhirnya menemukan satu topik untuk memecah kebekuan di dalam mobil, yaitu musik. “Iya.” Jawabnya singkat. “Kayak The Beach Boys ya?” sambung saya lagi yang merujuk pada grup power pop legendaris dari California itu. Dian kembali mengiyakan. Ia lalu meminta referensi kepada saya mengenai band-band lokal yang saya anggap bagus, kemudian saya menyebut nama-nama yang menurut saya akan menjadi the next big thing di Tanah Air, semacam The S.I.G.I.T, Santa Monica dan Efek Rumah Kaca. Percakapan tidak sempat mengalir karena Dian sibuk menerima telepon.

Kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran Sunda yang terletak di daerah Senopati, Jakarta Selatan. Sebelumnya, Dian menjalani sesi pemotretan yang berlangsung di sebuah kamar bertipe Luxury Suite di Four Season Hotel, Jakarta Selatan. Pemotretan yang berlangsung sekitar 2 jam itu ternyata membuat model dan aktris ini kelaparan.

Sesampainya di restoran yang dituju, Dian memesan nasi merah, 2 ayam goreng, ikan asin, tahu bacem, dan sayur asem. Ketika pesanannya datang, ia tampak menyantap makanannya dengan lahap. Obrolan ringan menyertai santap siang kami. Saya sempat tertawa kecil ketika raut mukanya menunjukkan ekspresi orang yang sedang didera rasa pedas yang hebat, yaitu merona merah dan mata yang berkaca-kaca. “Iya nih, pedas banget, tapi enak kok, segar.” Katanya sambil terus mengunyah

Usai makan, kami melanjutkan pembicaraan. Saya menanyakan soal kamera lomo yang dibawanya saat itu. “Waktu itu di Aksara kan ada kompetisi lomo. Pas gue lihat, ternyata gak terlalu mahal. Gue beli saat itu juga, kebetulan gue lagi ada uang,” ujarnya. Ia kini telah memiliki kamera lomo Holga, Fish Eye, dan Diana + yang diletakkannya di atas meja tempat kami makan. “Gue gak mau jadi fotografer sih, cuma gue pengen punya media yang banyak untuk bisa express my feelings. Kalau cuma membatasi ke akting doang, akhirnya gue bisa terjebak,” kata Dian yang terlihat santai dengan t-shirt putih dan legging hitam

“Gue sadar bahwa at the end of the day, it’s not about lo tuh siapa, apakah lo seorang aktor atau lo seorang fotografer, tapi apa yang mau lo sampaikan? Lo mau menyampaikan inspirasi lo dari dunia dan hidup, dan itu ditularin, bisa lewat lomo misalnya,” Sejenak pembicaraan terpotong karena adanya salah seorang pelayan pria yang ingin berfoto bareng dengannya, “Boleh, tapi nanti ya, aku lagi ngobrol, nanti aja pas udah mau pulang ya,” tolak Dian secara halus kepada pelayan tersebut.

Berbicara dengan Dian, tidak mungkin bila tidak menyinggung soal film yang telah membesarkan namanya. Ia sedang merencanakan untuk memproduksi 3 film. “Tanpa gue sadari, gue bersama tim gue menjalankan pekerjaan sebagai produser,” katanya. “Belum ada yang bisa diceritain sih sebenernya, masih dalam proses.”

Aktris yang resume kariernya di perfilman meliputi Bintang Jatuh, Pasir Berbisik, Ada Apa Dengan Cinta, Banyu Biru, Ungu Violet dan Belahan Jiwa ini juga aktif sebagai anggota Masyarakat Film Indonesia (MFI), sebuah organisasi yang memperjuangkan reformasi terhadap kebijakan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan perfilman di Tanah Air, diantaranya soal sensor. “Apa yang sensor lakukan terhadap film kita pada saat mereka memotong adalah sesuatu yang memaksa, karena prosesnya searah, gak ada tuh yang namanya diskusi atau dialog mengenai film yang ingin disampaikan. LSF (Lembaga Sensor Film) itu memotong dengan argumen bahwa mereka melindungi moral bangsa karena mereka bilang, kalau tidak dipotong, bangsa Indonesia yang belum dewasa itu ada yang bisa jadi pemerkosa, ada yang bisa jadi pembunuh, dan sebagainya,” ujarnya tanpa bisa menutupi rasa gundahnya.

“Yang gue sebal adalah MFI itu dianggap pro sadisme dan pro seks, kesannya MFI itu anak-anak bejat. Sekarang gini, gue gak setuju dengan policy sensor, tapi bukan berarti gue pengen bikin film porno. Tapi buatlah satu badan klasifikasi yang lebih menghargai hak-hak asasi manusia. Dengan adanya klasifikasi, kita jadi lebih menjaga anak-anak, karena semua anggota masyarakat akan lebih punya andil. Dan juga kita akan lebih menghargai hak-haknya orang dewasa yang sudah boleh mengetahui informasi secara utuh, misalnya mengenai ketimpangan jender dalam tempat tidur,” tutur wanita kelahiran 16 Maret 1982 ini dengan semangat

“Lo harus tahu, setiap kali film itu dipotong, si produser harus bayar sesuai dengan panjang yang dipotong, ada tarif per milimeternya. Jadi semakin banyak LSF itu motong, semakin banyak mereka dapat duit. Can you see?” ungkapnya dengan nada geram

Dian terlihat sumringah ketika diajak berbincang soal kehidupan cintanya. Bukan lantaran ia mendapatkan kekasih baru, namun justru karena kesendirian yang dijalaninya sekarang ini. Ia malah mengaku sedang memendam kekecewaan terhadap pria. “Gue punya premis baru dalam hidup gue bahwa pria itu punya kapasitas berpikir yang jauh di bawah perempuan. Tidak hanya sampai di situ saja, kapasitas yang sangat kecil itu hanya digunakan untuk dirinya sendiri,” ucapnya. “Gue baru menemukan dalam kehidupan gue, satu keadaan yang benar-benar langsung membuka mata gue tentang hal ini.”

Pemikiran yang semata-mata sifatnya emosional?

“Gak tahu. Bisa jadi pemikiran emosional doang, sampai akhirnya ada suatu kejadian yang membukakan mata gue bahwa ternyata men are not that bad, ada bagusnya juga. Tapi sekarang sih gue belum sampai ke turning point itu,” ujar sarjana filsafat ini. Menurutnya, saat ini ia membutuhkan pria hanya sebatas sebagai teman. “Gue memanfaatkan mereka untuk menyerap ilmu mereka dan juga sebagai teman diskusi.”

Dian terus berceloteh panjang lebar. “Cewek itu perlu merasa lengkap hanya dengan dirinya sendiri. Begitu juga cowok, harus merasa lengkap dan happy dengan dirinya sendiri. Kalau cowok merasa gak lengkap, dia akhirnya nyari cewek untuk membahagiakan dirinya, which is tolol menurut gue. Jadi, kayaknya gue baru bisa berubah pemikirannya, kalau gue sudah nemuin cowok yang udah sangat happy dengan dirinya sendiri, take care of himself, love himself, dan dia juga punya sense of respect terhadap dirinya sendiri yang cukup, sehingga dia bisa mencintai seorang cewek yang juga utuh dan lengkap dengan baik. Cuma menurut gue sampai sekarang hal itu masih platonis. Gue belum menemukan sosok cowok yang sangat lengkap dan sangat happy dengan dirinya sendiri.”
Anyone?